NOTE: Sebenernya udah pernah posting di wattpad, tapi yang baca sedikit. Jadi aku posting disini, semoga yang baca lebih banyak hehe.
-------------------------------------------------------------------------------
Tales of the Flowers: Sunflower
Hari ini, seperti hari sebelumnya, aku berdiri tegak
sembari menghadap ke arah matahari pagi yang bersinar di ufuk timur. Mahkotaku
yang berwarna kuning cerah bersinar sama terangnya dengan cahaya matahari pagi,
membuat diriku begitu bangga.
Ah, aku selalu suka kehidupanku. Meski terkadang aku
lelah karena harus berdiri menghadap ke arah matahari—oh, ayolah siapa yang
tahan melihat cahaya mereka yang menyilaukan dan panas dalam waktu lama—terus
menerus, aku tetap bersyukur.
Kehidupan lainnya yang aku suka adalah kehidupan
keluarga Thompson, keluarga yang meninggali rumah dimana aku tumbuh dengan
subur di pekarangannya. Aku bisa menghitung paling tidak ada tujuh orang yang
menempati rumah megah tersebut, tiga orang keluarga Thompson beserta tiga orang
pelayannya dan satu orang tukang kebun.
Seperti keluarga tua di Inggris pada umumnya, keluarga
Thompson sudah turun temurun tinggal di rumah ini dan mereka tidak pernah
berpikir sama sekali untuk angkat kaki. Mungkin sudah ada tiga keturunan
Thompson yang meninggali rumah ini. Begitulah yang kudengar dari pelayan yang
terkadang suka bergosip ria dengan si tukang kebun, Ben.
Tuan dan Nyonya Thompson memiliki seorang anak lelaki
berusia sekitar—entah—sepuluh atau sebelas tahun. Para pelayan suka memanggil
ia dengan sebutan Tuan Muda Thompson. Tapi, bagiku nama Tuan Muda Thompson
terlalu tua dan membosankan untuk anak kecil yang lugu sepertinya. Jadi,
kuputuskan untuk memanggilnya Tony karena itulah namanya, Tony Thompson.
Selama aku hidup menjadi bunga matahari di pekarangan
rumah keluarga Thompson, tidak ada pemandangan lainnya yang aku lihat selain
wajah Ben si tukang kebun serta suasana pekarangan yang penuh dengan bunga
matahari dan beberapa batang pohon apel. Semuanya terasa membosankan hingga pada
hari berikutnya, aku melihat si kecil Tony bermain dengan gadis seumurannya,
Eleanor.
Eleanor adalah gadis kecil yang manis. Aku begitu
menyukai rambutnya yang lurus dan pirang serta matanya yang kehijauan. Tidak
ada yang memiliki warna rambut seterang Eleanor di rumah ini. Keluarga Thompson
memiliki rambut hitam legam dengan mata cokelat tua. Satu-satunya orang yang
memiliki warna rambut yang cukup terang adalah Ben, meski pun warnanya tidak
seterang Eleanor.
“Kue jahe ini enak sekali. Ibumu memang pandai memasak,”
ujar Tony kepada Eleanor suatu hari sembari mengunyah kue jahe dan membuat
remah-remahnya jatuh ke tanah.
Tony dan Eleanor senang sekali bermain petak umpet dan
tamasya pura-pura di taman. Tempat favorit mereka saat bermain tamasya
pura-pura adalah di bawah pohon apel dekat aku tumbuh sehingga aku bisa
menguping pembicaraan mereka tiap kali mereka sedang bermain.
“Terimakasih. Besok akan aku bawa lebih banyak lagi
untukmu,” balas Eleanor sembari tersenyum.
Tony balas tersenyum dan kembali mengunyah setumpuk
kue jahe lainnya yang disodorkan oleh Eleanor. Mereka sama-sama tertawa dan
bercerita panjang lebar tentang banyak hal.
Ah, aku suka sekali menyaksikan kisah persahabatan
Tony dan Eleanor. Tony memang terlahir dari keluarga si kaya Thompson, tetapi
latar belakangnya itu tidak membuat ia sombong dan memandang rendah Eleanor
yang merupakan gadis kecil Ben si tukang kebun. Justru Tony dan Eleanor malah
bersahabat dekat.
Terkadang aku iseng bertanya, apakah Tony dan Eleanor
akan menjadi Tuan dan Nyonya Thompson berikutnya? Aku ingin sekali itu terjadi
di kehidupan mereka mendatang. Kupikir, bila bunga matahari bisa mekar dan
bertahan lebih lama, aku mungkin akan menyaksikan saat itu terjadi.
Hari-hari berikutnya, Tony dan Eleanor masih
bermain-main ria di pekarangan. Sesekali mereka berlari-lari, sesekali mereka
mengadakan tamasya pura-pura dan Eleanor selalu membawakan macam-macam kue
kering untuk Tony. Bocah itu sangat menyukai kue kering sebesar ia menyukai
Eleanor. Ya, menyukai Eleanor, kupikir itulah kata yang tepat diucapkan setiap
kali aku melihat kilatan lugu mata Tony yang menatap Eleanor.
Sampai suatu hari, Nyonya Thompson mendatangi Ben yang
sedang menyemprotkan air ke daun-daunku di pekarangan. Nyonya Thompson memang
wanita muda yang anggun. Namun hari ini, bagiku daripada anggun, angkuh adalah
kata yang cocok menggambarkan sikapnya. Terlebih caranya berjalan sembari
mendongakkan dagu dan cara matanya yang nyalang menatap Ben.
“Selamat pagi, Ben. Maafkan aku, bila aku mengganggu
aktivitasmu,” sapa Nyonya Thompson.
“Selamat pagi, Nyonya,” Ben balik menyapa, seramah
mungkin. Ia pun menhentikan aktivitas menyiramnya.
Nyonya Thompson menyunggingkan senyumnya. Sangat
singkat. Mungkin hanya satu detik, “Dimana Eleanor? Aku tidak melihat gadis
kecil itu disini.”
“Ah, dia bilang akan datang nanti siang. Eleanor
bilang dia akan bertamasya bersama Tony hari ini,” jawab Ben sembari tersenyum.
“Oh, aku khawatir aku tidak bisa menerima
kedatangannya hari ini.”
Ben mengernyitkan keningnya samar mendengar kalimat
Nyonya Thompson. “Maaf, tetapi apa maksud—?”
“Tony harus mulai melakukan kegiatan yang lebih
bermanfaat selain bermain dengan gadis kecil si tukang kebun,” potong Nyonya
Thompson. “Dia harus mengikuti pelajaran piano serta melukisnya yang sempat
tertunda karena Eleanor. Aku tidak menyalahkan gadis itu atas kelalaian Tony,
tentu saja. Hanya saja, untuk mencegah pengaruh lainnya yang mungkin dapat
ditimbulkan oleh anak tukang kebun yang memang tidak pernah mendapatkan
pengajaran yang pantas seperti Tony, aku merasa hal ini perlu dilakukan.”
Aku bisa melihat rahang Ben mengeras dan berkedut.
Pria itu tampaknya tidak senang dengan perkataan Nyonya Thompson. “Maafkan aku
Nyonya Thompson apabila menurutmu Eleanor memberikan pengaruh buruk pada Tuan
Muda. Tetapi, apa maksudmu dengan hal yang perlu dilakukan?” tanya Ben sesopan
mungkin.
Nyonya Thompson menarik sudut bibirnya, memaksakan
dirinya untuk tersenyum seanggun mungkin. “Kebetulan bibiku memiliki perkebunan
anggur di Kent. Ia sedang mencari pekerja untuk mengurus kebun anggurnya. Aku
merekomendasikan dirimu untuk bekerja di kebun anggur bibiku.”
Ben mengangkat kedua alisnya samar. “Tetapi Kent
sangat jauh dari Eastbourne, Nyonya. Aku tidak bisa meninggalkan keluarga—”
“Aku tidak menyuruhmu meninggalkan keluargamu. Aku
menyuruhmu berpindah tempat dan bekerja di Kent,” potong Nyonya Thompson lagi.
“Ada pondok kecil dekat kebun anggur bibiku disana yang mungkin bisa kalian
tinggali.”
Ben tidak menjawab lagi. Lelaki itu hanya terdiam,
tampak mempertimbangkan perkataan Nyonya Thompson.
“Aku tidak bermaksud mengusirmu atau Eleanor, Ben,”
Nyonya Thompson kembali berbicara. “Kupikir suasana Kent yang sejuk akan jauh
lebih baik di hari tuamu juga pastinya akan baik untuk tumbuh kembang Eleanor.
Gadis kecil itu akan tumbuh lebih cantik disana dibandingkan apabila dia
tinggal di Eastbourne. Oh, demi Tuhan, angin yang bertiup di Eastbourne rasanya
sangat asin dan cepat membuat kulit keriput.”
Aku dapat melihat bagaimana tangan Ben mencengkeram
alat penyiram kuat-kuat hingga buku jarinya memutih. Ia menunduk, menatap
rumput yang tumbuh di sekitar kakinya. Beberapa saat kemudian, Ben pun
mendongak dan berkata, “Akan aku pikirkan penawaranmu, Nyonya.”
Mendengar perkataan Ben, Nyonya Thompson tersenyum.
“Terimakasih, Ben. Kuharap kau bisa memberikan jawabannya besok,” balasnya
sebelum akhirnya ia berbalik dan berjalan menuju rumahnya.
Hari berikutnya, aku melihat Ben masih mengurusi
tanaman-tanaman di pekarangan. Namun, hal itu tidak terjadi esok harinya dan
esok harinya. Aku berpikir mungkin Ben benar-benar menerima tawaran Nyonya
Thompson dan memutuskan untuk pindah ke Kent bersama keluarganya. Kenyataan
tersebut membuatku sedih. Aku mungkin tidak dapat lagi bertemu Ben yang ramah
atau Eleanor yang ceria.
Namun, di Sabtu pagi, aku mendapat Tony berjalan ke
arahku sembari memegang sebuah mahkota yang tersusun dari bunga-bunga kecil daisy. Ia lalu memegang batangku dan
memetikku. Ouch! Aku bisa merasakan rasa nyeri menjalar di batangku.
Tony lalu melilitku di mahkota bunga tersebut. Ia
menjadikanku sebagai bunga yang paling besar dan cerah diantara bunga-bunga daisy yang berwarna putih. Aku mendongak
bangga, merasa cantik dengan diriku yang sekarang berada di mahkota bunga
tersebut. Aku memang tidak dapat melihat seperti apa diriku saat ini, tetapi
mengingat Tony memiliki selera seni yang bagus, kupikir hal semacam itu tidak
perlu dikhawatirkan.
Bocah itu lalu membawaku—maksudku, mahkota bunga—dan
berlari ke pagar rumahnya. Aku baru kali ini melihat pagar rumah Keluarga
Thompson. Pagar itu menjulang tinggi dan berwarna hitam gelap. Di samping kiri
dan kanan pagar terdapat tembok yang sama tingginya. Aku baru sadar ternyata
rumah Keluarga Thompson dikelilingi oleh tembok tinggi berwarna putih tersebut.
Aku dapat melihat Eleanor yang
menyelinap keluar dari samping pagar begitu Tony sampai. Ia tersenyum melihat
kedatangan Tony.
“Kau sudah lama menungguku, Eleanor?”
tanya Tony dengan napas tersengal.
“Tak apa, Tony. Lagipula kami
berangkat nanti sore,” jawabnya.
Tony pun tersenyum dan Eleanor balas
tersenyum. Tony lalu menyodorkan mahkota bunga yang ia pegang ke hadapan
Eleanor. “Aku membuat ini untukmu. Ini adalah kenang-kenangan dariku.”
Tanpa menunggu jawaban Eleanor, Tony
pun menyematkan mahkota bunga itu di kepala gadis kecil itu. Eleanor lalu
mengangkat tangannya dan mengelusku lembut.
“Terimakasih, Tony. Ini cantik
sekali.”
Tony tersenyum mendengarnya. “Jangan
lupa kirimkan surat dan ceritakan kehidupanmu disana kepadaku nanti. Aku akan
mengabarimu bila aku datang ke Kent untuk mengunjungi bibiku, kita harus
bertemu.”
Eleanor mengangguk. “Ya, tentu.”
Mereka berdua pun berpelukan,
melepaskan ucapan selamat tinggal serta rasa rindu yang mungkin telah tiba di
hati mereka masing-masing meski pun mereka sepenuhnya belum berpisah.
Tony lalu melepaskan pelukannya. Ia
pun menggenggam kedua lengan Eleanor. “Selamat tinggal, Eleanor.”
Eleanor tersenyum menatap Tony.
“Selamat tinggal, Tony.”
Dan dengan langkah cepat, Eleanor pun
berbalik dan meninggalkan Tony yang masih mematung di dekat pagar rumahnya.
Mungkin itu hari terakhir aku dapat
melihat Tony dan mata cokelatnya. Itu juga adalah hari terakhir dimana aku
menyaksikan kisah persahabatan murni kedua bocah kecil yang masih lugu itu.
Mereka saling menyayangi satu sama
lain, saling membutuhkan satu sama lain dan tidak pernah memandang bulu satu
sama lain. Ah, mungkin benar bahwa cinta ada karena lahir bersama kita
sedangkan benci ada karena tumbuh di antara kita. Itulah mengapa anak kecil
lebih banyak merasakan cinta dan orang dewasa lebih banyak merasakan benci.
***
2 komentar:
email kamu apa? hehe boleh kirim email ke kamu gak
boleh, mau kirim apa yaa? email aku sherinda1998@gmail.com
Posting Komentar